Hari itu suasana sekolah tidak seperti biasanya. Dari pagi, berita tentang demo mahasiswa sudah ramai di media sosial. Beberapa guru menyinggung soal itu di kelas, bahkan ada yang terlihat resah.

Riziq, siswa kelas E.3, merasa gelisah. Setelah bel pulang ia tidak langsung ke rumah. Ia melepas dasi, menggulung lengan baju putihnya, lalu berjalan ke arah pusat kota. Dari kejauhan, suara massa sudah terdengar lantang.

Di jalan raya, ribuan orang berkumpul. Spanduk terbentang, bendera merah putih berkibar tinggi. Riziq berdiri di antra mereka, agak canggung, tapi ada semangat yang sulit dijelaskan. Seorang mahasiswa menepuk bahunya, “Kamu masih SMA ya? Jaga dirimu. Tapi bagus kalau berani ikut bersuara.”

Riziq hanya mengangguk. Ia ikut teriak bersama massa, meski suaranya kalah kecil.

Tiba-tiba suara letupan terdengar. Gas air mata mengepul. Orang-orang panik berlarian. Riziq terbatuk, matanya perih, dadanya sesak. Tapi di balik kepanikan itu ada sesuatu yang tumbuh dalam dirinya: rasa bahwa ia sedang menyaksikan sejarah.

Malamnya ia pulang dengan seragam lusuh dan bau asap menempel. Ibunya terkejut melihatnya, tapi Riziq hanya berkata pelan,
“Bu, kita belajar soal demokrasi. Tadi aku lihat sendiri artinya.”